Jumat, 17 September 2010

Di Tinta Hijau Atas Hamparan Kehidupan
(Hidup itu cukup dinikmati karena di setiap kesusahan pasti ada kebahagiaan)
Hidup memang tak selalu datar, pasti ada gelombang-gelombang yang menerpa yang mau tak mau harus kita hadapi. Seperti air yang mengalir, daun yang terjatuh, semua berjalan sebagaimana mestinya. “Manusia” makhluk yang Allah ciptakan dengan kesempurnaannya. Tak hanya akal, hati dan fikirannya pun melebihi makhluk yang lain. “Cinta” begitulah kata yang menghiasi berbagai makna, begitu indah melekat di jiwa, terdengar begitu mesra, anugrah ilahi yang tak terpungkiri.
Tinta hijau menghiasi arti kehidupan. Disini ku coba tuk menghamparkan, memaparkan dan menceritakan (curhat intinya hehe) tentang sepenggal pengalaman kehidupan yang dimulai saat aku lahir di dunia yang begitu indah namun tak seindah syurga.
Sukabumi, Jawa Barat, pada hari sabtu 02 januari 1993, di sebuah kamar kecil sebelah ruang tamu, tepatnya pukul 11.45 WIB sebelum berkumandang adzan dzuhur, lahirlah aku dari perut sang ibu tercinta yang dengan perjuangannya yang sangat tak terkira nilainya membuatku mampu tuk melihat indahnya dunia.
 Yah, it’s me Sarah Nurhayati lahir dari ibu bernama Elih Malihatun yang sangat sangat aku sayangi. Beliau adalah wanita nomor 1 bagiku dan keluargaku. Tak lupa bapakku tersayang Bapak Muhyidin Baesuni, motivator utama di kehidupanku. Pertemuan keduanya yang sangat panjang ceritanya, membuatku hadir di alam yang mungkin makhluk lain tak seberuntung aku dilahirkan sebagai manusia.
Ibu dan bapak keduanya dari kecil selalu bekerja keras untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dari sejak kecil ibu tak pernah melihat ayah kandungnya yang beliau adalah kakek kandungku. Ditinggal sejak di kandungan, ibu hidup bersama nenek, sedang kakak-kakaknya yang berjumlah 4 orang semuanya telah menikah. Dengan tekad dan semangat tinggi ibu bersekolah dari SD-MA dengan jerih payahnya sendiri. Sungguh perjuangan yang sangat mulia. Tanpa ayah dan hanya mendapat dukungan moral dari nenek ibu berhasil menamatkan Aliyahnya. Diteruskan kuliah S1 di STAI Daarussalaam saat aku masih bayi dan Alhamdulillah bisa meneruskan ke S2 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung saat aku di bangku MTs. I’m proud of you mom, kata itu yang selalu ingin aku ucap saat aku mengingat semua kenangan masa kecilku.
 And dad, I’m so happy to be your daughter, yah begitulah ungkapan untuk bapakku tercinta. Sejak kecil bapak ditinggal kakek dan hidup dalam kekangan ayah tiri. Kekangan, pembatasan dan kebohongan ayah tiri itu sepertinya tak perlu dibahas karena membahas-nya bisa membuat hati ini jengkel. Forget it guys, kembali pada topik tentang bapak. Ke 2 dari 3 bersaudara, bapak dan kedua saudaranya tepatnya paman dan tante (kalo bahasa sunda manggilnya mamang sama uwa, gaol dikit deh,hihi) menjalani pendidikan agama di pesantren. Setelah dari pesantren, bapak mendapatkan kesempatan belajar S1 di Al-Azhar University Cairo Egypt. Setelah selesai pada tahun 1991, beliau pulang ke Indonesia dan menikah.
Tak lama setelah menikah beliau mendapatkan beasiswa untuk meneruskan kuliah S2 di UIN Sunan Kalijaga Djogjakarta. Dan sekarang sejak aku di bangku Aliyah tepatnya pas aku kelas 2 MA, bapak meneruskan S3-nya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sungguh perjalanan pendidikan yang harus ditiru oleh anak-anaknya, bahkan beliau bilang bahwa anak-anaknya harus lebih sukses darinya, karena generasi yang berhasil adalah generasi yang lebih baik dari orang tuanya. Kata-kata itu selalu terngiang di benakku, sehingga hal tersebut memotivasiku untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik, selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang tuaku karena perjuangan mereka yang sangat berharga.
Nah, itulah sekilas profil tentang orang tuaku. Ada yang ketinggalan, pernikahan mereka berlangsung sederhana pada tanggal 05 desember 1991, tepatnya 3 bulan setelah bapak pulang dari Mesir. Kalo misalnya diceritain kisahnya lucu deh, pasti anda yang membaca sedikit tersenyum lebar. Namun intinya jodoh tuh gak kemana, go to Egypt jodohnya tetep di Sukabumi, hihi. It’s end and now it’s time to tell about me, okay   ^_-
Biar enak bahasanya gak usah terlalu baku ya, yang penting enjoy dibacanya. “Aku” lahir di sebuah kampung di daerah sukabumi, dengan segala kekurangan yang masih menyelimuti keluargaku karena memang hidup itu tak bisa langsung di atas, semuanya berawal dari bawah, nol. Dari kecil memang ekonomi keluarga tak seperti yang orang bayangkan, masa-masa sulit ibu alami saat membesarkanku. Ditambah bapak yang sedang study di Djogja, membuat ibu harus berjuang sendiri, namun kadang saat libur ataupun ada kesempatan untuk pulang pasti bapak pulang untuk menengok aku yang masih tak kenal siapapun kecuali hanya pada ibu.
Ada yang belum aku ceritakan, sebelum aku lahir, bapak berharap yang lahir adalah laki-laki, bahkan beliau udah nyiapin nama “Muhammad Abdul Fatih” itulah nama yang akan dikasih buat bayi yang lahir. Namun takdir berkata lain, saat aku brojol, diliat-liat ternyata yang keluar bukan laki-laki, tapi aku, perempuan. Lucu juga sie, mungkin faktor itu yang bikin aku sedikit tomboy, tapi Alhamdulillah skarang udah engga tomboy lagi, xixixixixi.
Lanjut cerita, saat aku masih harus minum ASI, ibu sedang mengalami masa ekonomi yang kritis, namun ibu selalu berusaha untuk menghasilkan uang agar bisa memberikan aku gizi yang cukup, terharu banget deh kalo inget masa-masa ini. Jauh dari suami, tak semua orang peduli, harus mengurus aku pula, belum ngurus kuliahnya, subhanallah sekali ibuku, Ya Rabb ighfir khotooyaaha..amiin
Tak sampai 2 tahun aku meminum ASI, hanya sampai 8 bulan aja, makanya aku “amis danging” ga tahan digigit serangga, emang akunya manis kali, hehe. Sampai aku usia 3 tahun, bapak akan di wisuda, kami bersama nenek,bibi dan paman pergi ke Djogja untuk menghadirinya. Disana aku punya teman namanya Haidar, mungkin sekarang udah gede sama kaya aku, namun aku tak pernah ketemu dia lagi. Setelah bapak selesai S2, beliau ikut tes pegawai negri untuk dijadikan dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Alhamdulillah beliau lulus dan mulai mengajar disana. Tak lama dari situ nenekku yang biasa dipanggil umi menyuruh bapak untuk mengurus pesantren di rumah, mau tak mau bapak menurut kepada umi dan meninggalkan Jakarta.